Oleh : Prof.Dr. Ike Revita, S.S., M.Hum., CRP

Kesabaran dalam Budaya Minangkabau, Kekuatan Bangkit dari Musibah

Oleh : Prof.Dr. Ike Revita, S.S., M.Hum., CRP

Musibah yang kembali menimpa sejumlah wilayah di Sumatera Barat, khususnya Kabupaten Pesisir Selatan, menyisakan luka yang tidak kecil bagi masyarakat. Gempa, banjir, dan longsor yang terjadi beberapa waktu terakhir bukan hanya merusak rumah dan fasilitas publik, tetapi juga menguji keteguhan hati warga dalam menghadapi situasi sulit. Namun di balik kepedihan itu, ada satu nilai yang tetap bertahan dalam kehidupan masyarakat Minangkabau: kesabaran.

Sebagai bagian dari kegiatan pengabdian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas (FIB Unand) yang hadir di nagari-nagari terdampak bencana, saya menyaksikan langsung bagaimana masyarakat mempertahankan ketenangan dan kebijaksanaan khas Minangkabau dalam menghadapi musibah. Kesabaran bagi orang Minang bukanlah sekadar menahan diri, tetapi sebuah kekuatan budaya yang mengakar dan diwariskan sejak nenek moyang.

Masyarakat Minangkabau mengenal ungkapan sabar itu indak baranti, sakik itu indak basuo. Petuah ini menegaskan bahwa kesabaran tidak memiliki batas, karena cobaan hidup tidak akan hilang selamanya. Di saat kesedihan hadir, kesabaran menjadi pegangan untuk tetap teguh berdiri, sementara semangat gotong royong menjadi kekuatan yang mempersatukan masyarakat.

Bencana, bagi orang Minang, bukan hanya ujian fisik, tetapi juga ujian batin. Dalam tambo Minangkabau disebutkan bahwa cobaan harus dihadapi dengan pikiran jernih dan hati yang lapang  mambasuah aia nan janiah, mambasuah hati nan luko. Oleh karena itu, ketika wilayah Pesisir Selatan mengalami kerusakan parah, masyarakat tetap mampu mengatur langkah dengan tertib dan saling membantu tanpa kehilangan kendali emosi.

FIB Unand, melalui kegiatan pengabdian dan penyaluran donasi kepada warga terdampak, berupaya memperkuat nilai-nilai ini dengan mengangkat kembali kearifan lokal dalam literasi kebencanaan. Pendekatan budaya, seperti menghidupkan kembali fungsi surau sebagai pusat informasi komunitas, penggunaan alat tradisional seperti kentongan dalam peringatan dini, hingga diskusi adat mengenai solidaritas nagari, menjadi bagian dari strategi memulihkan kehidupan sosial masyarakat.

Dalam setiap tenda pengungsian yang kami kunjungi, nilai badunsanak terlihat hidup: warga berbagi makanan, membantu tetangga yang lebih membutuhkan, dan menguatkan satu sama lain tanpa keluhan berlebih. Prinsip barek samo dipikua, ringan samo dijinjiang bukan hanya slogan adat, tetapi benar-benar menjadi energi pemulihan setelah bencana.

Kesabaran masyarakat Minangkabau bukan sikap pasif. Ia adalah pilihan sadar untuk menghadapi musibah dengan keteguhan, menjaga martabat diri, dan tetap membuka ruang untuk harapan.Itulah yang membuat masyarakat kita mampu bangkit berulang kali meski berkali-kali diguncang bencana.

Pada akhirnya, kekuatan terbesar Sumatera Barat bukan terletak pada alamnya, tetapi pada manusianya  pada budaya yang menjaga ketahanan mental dan ketangguhan sosial. Dengan menjaga kesabaran sebagai nilai inti, dan gotong royong sebagai wujud praktiknya, masyarakat akan selalu memiliki kemampuan untuk memulai kembali, betapapun besarnya ujian yang datang.

Semoga masyarakat Pesisir Selatan dan seluruh Sumatera Barat diberikan ketabahan dan keselamatan, serta diberi jalan untuk bangkit dengan lebih kuat. Budaya Minangkabau telah mengajarkan kita bahwa selama kesabaran dan kebersamaan tidak hilang, nagari-nagari kita akan selalu kembali tegak.

Profil  singkat  Prof. Dr. Ike Revita, S.S., M.Hum., CRP

Prof.Dr. Ike Revita, S.S,,M.Hum.,CRP adalah Guru Besar Linguistik pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas. Beliau dikenal sebagai peneliti senior dalam bidang linguistic, budaya, pragmatik, serta kajian kearifan lokal Minangkabau. Sekarang ini beliau adalah Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas yang aktif mengembangkan riset berbasis data lapangan dan berfokus pada bahasa, identitas, dan pemanfaatan linguistik dalam konteks sosial dan kebencanaan.

Di lingkungan akademik, Prof. Ike telah menghasilkan puluhan buku, ratusan artikel ilmiah, serta berbagai karya pengabdian masyarakat. Penelitiannya banyak berkontribusi pada revitalisasi bahasa daerah, penguatan literasi budaya, dan pengembangan model komunikasi kebencanaan berbasis kearifan lokal.

Selain sebagai akademisi, beliau juga aktif dalam berbagai kegiatan pengabdian kepada masyarakat, khususnya pendampingan nagari di Sumatera Barat dalam bidang literasi kebencanaan, dokumentasi budaya, serta pelatihan komunikasi efektif bagi pemangku adat dan pemerintah nagari.

Dengan rekam jejak akademik dan sosial yang kuat, Prof. Ike Revita menjadi salah satu figur penting dalam pengembangan  linguistik dan pelestarian budaya di Indonesia.