Cerbung oleh : Suryadi Jaya Ketua Tim Assesmen PWM Bengkulu

Menjadi Relawan di Tengah Sunyi Pesisir Selatan
Nama saya Suryadi Jaya, seorang jurnalis. Namun pada akhir November 2025, identitas itu saya simpan sejenak.
Saya berangkat ke Sumatera Barat bukan untuk meliput, melainkan untuk mengabdi sebagai relawan MDMC Bengkulu.
Minggu sore, 30 November 2025 pukul 15.30 WIB, saya dan satu rekan seperjalanan, Meldhan Ade Putra, meninggalkan Kota Bengkulu menggunakan sebuah mobil Avanza.
Jalan panjang membentang di depan kami lebih dari 12 jam perjalanan, menembus malam dan rasa lelah yang perlahan menumpuk.
Tepat pukul 04.00 WIB, 1 Desember 2025, kami tiba di Kecamatan Tarusan, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Udara dini hari masih lembap, suasana lengang, namun jejak bencana terasa kuat.
Di sana kami disambut oleh Reno, seorang pekerja sosial yang sejak awal telah lebih dulu berjibaku membantu warga terdampak.
Pesisir Selatan saat itu bukan sekadar wilayah terdampak. Ia adalah potret duka besar. Lebih dari 83 ribu jiwa terdampak banjir bandang dan tanah longsor.
Ketika kami tiba, masih ada sekitar 4.000 jiwa yang terisolir, terjebak di Kecamatan Bayang Utara, tanpa akses memadai.
Bersama Reno, kami kemudian diperkenalkan dengan Elpinas, Bendahara PDM Muhammadiyah Pesisir Selatan.
Sosok inilah yang nantinya setia menemani kami selama menjadi relawan. Sejak pertemuan pertama, saya tahu, hari-hari ke depan tidak akan ringan.
Hari pertama kami lalui dengan padat dan nyaris tanpa jeda.
Bersama Elpinas, kami melakukan koordinasi ke berbagai pihak Wakil Bupati, Kepala BPBD, Kepala Disdikbud, Camat Bayang Utara, hingga meninjau langsung jalan yang terputus titik terakhir yang masih bisa diakses warga.
Dari sana, bencana benar-benar memperlihatkan wajah aslinya: sunyi, terisolasi, dan penuh keterbatasan.
Keesokan harinya, 2 Desember 2025, kami memulai pelayanan dapur umum.
Namun tantangan langsung menghadang. Donatur belum tersedia. Rekan-rekan di Bengkulu masih dalam proses menggalang donasi dari berbagai pihak.
Di tengah kebingungan itu, secercah harapan datang dari tempat kami menginap.
Pengelola Panti Asuhan Muhammadiyah Pesisir Selatan dengan tulus bersedia menjadi donatur hari pertama. Sebuah keputusan sederhana, tapi sangat berarti.
Hari itu pula, kami mendirikan Pos Koordinasi Daerah (Poskorda) MDMC Pesisir Selatan, dengan Elpinas diputuskan sebagai ketua Pos Korda Kabupaten Pesisir Selatan.
Sayangnya, kondisi bencana membuat tidak banyak kader Muhammadiyah setempat yang bisa terlibat langsung. Namun semangat tidak pernah berkurang.
Dengan 110 nasi bungkus, kami bergerak menuju Nagari Koto Ranah, titik terakhir akses warga. Elpinas telah berkoordinasi dengan Wali Nagari Pancung Taba, Edison, yang akan menyalurkan bantuan ini ke warga Kampung Dilan.
Di sanalah, saya menyaksikan pemandangan yang sulit saya lupakan.
Saya sempat berbincang dan mewawancarai salah satu warga Kampung Dilan. Mereka ternyata sudah lima hari terisolir. Tidak ada kendaraan yang bisa masuk. Jalan tertimbun longsor, pohon-pohon besar menutup badan jalan, dan satu-satunya akses hanyalah berjalan kaki sejauh empat kilometer.
Lebih memilukan lagi, nasi bungkus yang kami bawa adalah bantuan pertama yang mereka terima.
Siang itu, enam orang warga turun dari kampung. Raut wajah mereka menyimpan lelah dan lapar yang sudah terlalu lama ditahan.
Tak lama setelah nasi bungkus diterima, sembari menunggu motor, mereka langsung membuka dan menyantapnya dengan lahap.
Air minum dalam botol yang saya pegang tersisa setengah ikut diminta. Saya memberikannya tanpa ragu.
Saya dan Meldhan hanya bisa tertegun. Tak ada kata yang mampu menggambarkan kondisi itu. Sebagai jurnalis, saya terbiasa melihat penderitaan. Tapi berdiri di sana sebagai relawan, rasa itu jauh lebih menghunjam.
Kami kembali ke panti sore harinya. Tubuh lelah, pikiran penuh. Malam itu kami beristirahat sembari menyusun rencana operasi untuk esok hari.
Di tengah kesibukan itu, seorang ibu pengurus panti tiba-tiba membuka obrolan dengan nada pelan,
“Besok dapur umum buka tidak ya? Soalnya uang panti hanya cukup untuk satu hari…”
Kalimat itu membuat saya terdiam. Lalu berpikir cepat.
Saya segera menghubungi seorang rekan, menanyakan apakah ia bersedia berdonasi. Tak lama kemudian, kabar baik datang.
Ia bersedia dan langsung mentransfer dana. Tanpa menunggu lama, saya mengajak Meldhan menuju ATM untuk menarik uang tersebut.
Malam itu juga, uang itu saya serahkan kepada ibu panti.
“Ibu, besok masak lagi ya. Ini uangnya.”
Ibu itu tersenyum. Senyum sederhana, tapi hangat. Di tengah bencana, saya kembali belajar bahwa kemanusiaan sering kali hadir dalam bentuk paling sunyi dan paling tulus.
Bersambung….

