Oleh: Aslan Deri Ichsandi

Mahasiswa Doktoral Imu Hukum Unand dan Dosen UIN IB Padang

Sertifikasi Halal di Persimpangan: Perlindungan Umat atau Alat Kekuasaan?

Oleh: Aslan Deri Ichsandi

Mahasiswa Doktoral Imu Hukum Unand dan Dosen UIN IB Padang

Padang — Sumatera Barat nrtvnews.info 18/10/2025 Di balik logo halal yang kini wajib menempel pada setiap kemasan makanan dan minuman, tersimpan pertarungan besar antara nilai spiritual dan logika birokrasi. Sertifikasi halal, yang awalnya lahir sebagai bentuk perlindungan bagi umat Islam, kini bertransformasi menjadi instrumen hukum, ekonomi, bahkan politik—memicu pertanyaan kritis: apakah negara sedang melindungi iman, atau justru menguasainya?

Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH), peran utama dalam sertifikasi halal beralih dari Majelis Ulama Indonesia (MUI)—otoritas keagamaan—ke Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) di bawah Kementerian Agama. Langkah ini, yang dimaksudkan untuk memperkuat jaminan kehalalan secara nasional, justru membuka kotak Pandora baru: agama yang semula berakar pada tafsir fikih dan ijtihad ulama kini diukur lewat audit laboratorium, dokumen administrasi, dan standar teknis.

Biaya Mahal, Prosedur Rumit: UMKM Terjepit

Bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), perubahan ini bukan berkah, melainkan beban. Banyak pengusaha lokal mengeluhkan biaya sertifikasi yang tinggi, proses yang berbelit, dan waktu tunggu yang panjang. Ironisnya, produk yang secara substansial jelas halal—seperti tempe, tahu, atau sayuran segar—dianggap “belum halal” secara hukum jika belum memperoleh sertifikat resmi.

“Kami jual tempe turun-temurun, semua bahan alami dan tidak ada yang haram. Tapi sekarang, kalau tidak ada sertifikat, konsumen mulai ragu,” ungkap Rina, penjual tempe di Pasar Raya Padang.

Situasi ini memicu ketegangan sosial: masyarakat menginginkan akses halal yang murah dan mudah, sementara negara menjalankan sistem yang birokratis dan legalistik. Di sinilah muncul kontradiksi nilai—antara keimanan yang sederhana dan kekuasaan yang ingin mengontrol segalanya.

Agama yang Dirasionalisasi: Dari Wahyu ke Administrasi

Fenomena ini, menurut para pengamat sosial, mencerminkan proses rasionalisasi agama ala Max Weber—di mana aspek spiritual tunduk pada logika efisiensi, standar, dan kontrol. Konsep “halal” yang dulu berarti “yang diizinkan oleh Allah” kini didefinisikan ulang sebagai “yang disahkan oleh BPJPH”.

“Ini adalah pergeseran epistemologis,” kata Aslan Deri Ichsandi, mahasiswa doktoral Ilmu Hukum Universitas Andalas sekaligus dosen UIN Imam Bonjol Padang. “Sumber kebenaran tidak lagi wahyu atau ijtihad ulama, tapi dokumen administratif.”

Dalam perspektif filsafat, pergeseran ini berpotensi disruptif—mengguncang tatanan lama dan menciptakan sistem baru. Thomas S. Kuhn menyebutnya sebagai “revolusi paradigma”. Dan dalam kasus sertifikasi halal, disrupsi itu terjadi di tiga ranah sekaligus:

Teologis: Otoritas ulama digantikan oleh birokrat

Di satu sisi, label halal kini menjelma menjadi komoditas bernilai tinggi yang membuka akses ke pasar domestik maupun global—terutama di tengah booming industri halal dunia. Namun di sisi lain, beban birokrasi dan biaya sertifikasi justru mengancam eksistensi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang kesulitan memenuhi syarat administratif. Lebih dari sekadar isu konsumsi, sertifikasi halal juga dimanfaatkan negara sebagai alat legitimasi moral, memperkuat citra sebagai “penjaga kesalehan publik”, sekaligus menjadi sarana tak langsung untuk mengontrol dan mengarahkan praktik keagamaan warga—memicu kekhawatiran atas campur tangan berlebihan negara dalam ranah spiritual yang seharusnya otonom.

Ketika Halal Jadi Alat Kuasa

Michel Foucault pernah menyatakan bahwa kekuasaan tidak hanya menindas, tapi juga membentuk kebenaran. Dalam konteks sertifikasi halal, “yang halal” bukan lagi ditentukan oleh dalil suci, melainkan oleh lembaga yang berwenang—dan lembaga itu berada di bawah kendali negara.

Ini memunculkan pertanyaan mendasar: sejauh mana negara boleh mengatur ranah spiritual? Apakah pemerintah berhak mendefinisikan ulang makna halal, yang selama berabad-abad dipahami melalui tradisi keagamaan?

Di sisi lain, pasar global justru melihat sertifikasi halal sebagai peluang ekonomi. Indonesia, dengan populasi Muslim terbesar di dunia, ingin menjadi pusat industri halal global. Tapi ambisi itu berisiko mengorbankan nilai-nilai lokal dan keadilan sosial jika tidak diimbangi dengan kebijakan yang inklusif.

Menuju Dialog Moral, Bukan Sekadar Legalitas

Kritik terhadap sistem sertifikasi halal bukan berarti menolak perlindungan konsumen. Justru, kritik itu menandai tumbuhnya kesadaran sosial—sebagaimana disebut Paulo Freire sebagai conscientização—bahwa sistem yang tampak netral bisa menyembunyikan ketimpangan.

Yang dibutuhkan kini bukan hanya regulasi yang ketat, tapi ruang dialog antara negara, ulama, pelaku usaha, dan masyarakat. Sertifikasi halal seharusnya menjadi jembatan, bukan tembok. Ia harus merefleksikan kesalehan kolektif, bukan sekadar cap legal.

“Halal bukan hanya soal label,” tegas Aslan. “Ia adalah panggilan etis untuk hidup jujur, bersih, dan berkeadilan.”

Di tengah arus modernisasi yang tak terbendung, pertanyaan terpenting bukan lagi apakah produk itu halal, tapi siapa yang berhak menentukan makna halal itu sendiri—dan untuk kepentingan siapa.